Sunday, July 23, 2017

#3 Perjuangan Orangtua


Oleh: Khansa S@F

Lagu kenangan masih berputar, mobil masih melaju dengan kecepatan sedang. Saat itu, ada mobil Bus besar yang lewat, dan dari Bus ini lah aku akhirnya menyadari bagaimana perjuangan orangtuaku tak ada bandingnya, bagaiaman perjuangan mereka tak terbalaskan, dan bagaimana perjuangan mereka membuat air mata meleleh tak karuan.

Saat itu,  adik aku bercerita jika hendak  berangkat kuliah ke kampusnya, kalau dari rumah, harus subuh-subuh sudah berangkat, agar tidak kesiangan masuk kelas.

"Capek! Setiap senin subuh harus kejar mobil Bus, belum lagi, kalau penuh suka berdiri!" keluh adikku kala itu.

Aku juga akhirnya ikut nimbrung menceritakan bagaimana perjuangan kuliahku dulu, harus naik mobil yang tak ada AC nya, naik kopaja atau Metro jakarta yang  membuatku pengap dan merasa panas. Dan sampai sekarang sebenarnya aku traum terhadap mobil-mobil itu.

"Kamu mah enak, Dek, kampusnya deket dan naik mobil juga cuma sekali atau dua kali, coba teteh, naik mobil berkali-kali, panas, belum lagi was-was kalau ada copet" jelasku.

Aku  kuliah di jakarta, dan adikku kuliah di daerah. Dan jarak antara kampus adikku dan rumahku hanya memakan waktu 2 jam, sedangkan aku sekitar 4 sapai 5 jam.

Seketika, mobil kembali hening, karena masih penasaran dengan cerita umi , aku pun bertanya kembali pada umi bagaimana umi bisa pulang pergi dari jakarta ke rumah ke rumah  dengan masih tugas  menumpuk dan membutuhkan  waktu perjalanan yang amat lama.

"Awalnya setiap minggu sore umi berangkat dari rumah, sampai jakarta paling malam jam sebelasan" jelas umi,  "Tapi, semenjak tau Bus tadi ada yang beroperasi jam 2 pagi, kata Bapak, berangkatnya jam 2 pagi saja dari rumah, biar hari minggu nya masih bisa di rumah"

"Umi jam 2 pagi ke jakartanya??? Engga takut, jalan ke pangkalannya?" Tanyaku tak percaya, karena kamu harus tahu teman,  rumahku cukup jauh dengan jalan raya, kalau naik motor membutuhkan sekitar 10  menit baru sampai ke pangkalan, tapi, kalau jalan kaki, membutuhkan waktu sekitar 25 sampai 30 menitan baru sampai pangkalan.

"Iya, kan ada bapak yang nganterin" jawab umi

"Jalan kaki?" Tanyaku tak percaya, karena saat itu, bapak belum punya motor.

"Iya, setiap jam 2 pagi bapak nganter umi, kan dulu kita belum punya motor" jelas bapak

"Bapak engga takut pas balik lagi ke rumahnya? Kan malem Pak? Sendirian pula" Tanyaku masih penasaran, karena pasri kamu tahu lah bagaimana suasana perkampungan yang masih sedikit penerangan, belum lagi, ini jam 2 malam, dan dari rumahku  ke pangkalan, harus melewati beberapa jalan sepi yang tak ada rumahnya, semak belukar, serta kuburan besar.

Bapak tidak menanggapi pertanyaanku, dan mulai kembali fokus mengendarai mobil.

Saat itu, aku masih  ingin masih ngobrol dengan umi, aku pun kembali bertanya pada umi.

"Umi kenapa waktu pas kuliah suka pulang ? Kan tugas kuliah banyak, Mi. Belum lagi rumah kita kan  jauh?" tanyaku polos.

"Kalau umi engga pulang, yang ngurusin ruma sama kaliah siapa?  Dari dulu, Umi engga percaya sama pembantu, jadi umi harus pulang setiap pekan sekali."

Aku tertegun mendengar jawaban umi, disaat umi sibuk dengan kuliahnya, umi masih sempat-sempatnya mikirin anak dan suami. Padahal tidak perlu pulang sepekan sekali juga sebenarnya bisa, karena ada Bapak yang sudah mengurus aku, kakak dan kedua adikku. Tapi kata umi,  "yang nyuciin baju siapa? Nyetrika baju siapa? Cuci pirng siapa? Ngepel siapa?"

Ialah umiku, selain umi mengurusi anak dan suami, umi juga yang mengurusi isi rumah. Dari dulu, umi dan tentunya keluargaku tidak suka mengandlkan pembantu, pernah waktu itu bapak memanggil pembantu, tapi ada hal yang membuat keluargaku kecewa. Sejak saat itu, umi tidak mau ads pembantu lagi di rumah.

"Sekali pun capek, harus bekerja sendiri, ngurus 5 anak, suami seralta rumah sendiri, tapi umi nikmati aja, daripada ada pembantu tapi mengecewakan?"

Kamu pasti tahu, bagaiaman suasana rumah yang diisi oleh empat anak kecil yang masih belum mengerti, serta seorang bapak yang harus mengurusi isi rumah sendiri. Belum lagi, seorang bapak pada dasarnya tempat berkerjanya  memang bukan di rumah tapi harus dipaksakan tempat kerjanya di rumah, kamu bisa bayangkan kan, bagaimana isi rumahnya?

Aah, umi, tak pantas aku mengeluh dengan tugas yang menumpuk saat kuliah, atau tak pantas aku mengeluh saat menaiki mobil yang tidak ada AC nya. Tentu aku tak pantas saja, karena ada orang yang lebih pantas mengluh pun tak mengeluh.

Umi, bapak perjuanganmu dulu membuatku malu, aku banyak belajar darimu. Bagaimana melihat kesungguhanmu menjadi mahasiswa berprestasi, bagaimana kecintaanmu terhadap anak dan suami hingga rela tiap pekan pulang sekalipun tugas dan jarak amat jauh. Dan bagiaman memosisikan dirimu saat menjadi istri yang berbakti.

Begitu pun, kamu Pak. Pukul 2 malam bukan waktunya berada di jalan. Namun dengan berbekal baterai kecil, dirimu rela mengantar umi  sampai  Bus yamg dinaiki umi tak terlihat. Malam mencekam, dan bisa saja bahaya datang mengintaimu. Tentu, yang dirimu lakukan saat itu bukan semata-mata ingin melihat ilumi sarjana, tapi lebih dari pada itu, ada sebuah harapan besar yang ingin terlaksana.

Jika bukan karena karunia, tenti pasti tak mau, berjalan dikegelapan, sendirian, dengan berbekal penerangan yang yltak memungkinkan.

Aaaakhh Umi dan Bapak, apa yang harus aku berikan? Perjuangan kalian sungguh luar biasa. Aku bangga dan bersyukur Allah izinkan aku dilahirkan di rahim Ibu yang memiliki jiwa perjuangan serta dididik oleh seorang bakak yang penuh tanggungjawab yang besar.

Semoga Allah mewariskan jiwa perjuangan serta tanggungjawab padaku. Agar kelak, jika Allah izinkan aku memulai bahtera dengan pilihan hatiku, aku ingin seperti mereka, yang senantiasa berusaha untuk saling membantu dan melengkapi serta berlomba dalam hal kebaikan untuk gapai syurga sama-sama.

Umi, bapak aku sayang kalian selamanya. I love You soo much.

Tamat.

No comments:

Post a Comment