Sunday, July 23, 2017

#1Perjuangan Orangtua

Oleh: Khansa S@F

Aku baru mendengar malam ini. Malam di mana kebahagiaanku bertambah lagi. Malam ini, aku dan keluarga makan di luar, karena di rumah lauknya belum beli hehe. Tapi aku bahagiaa sekali,  bisa makan sama-sama di lapangan terbuka.

Di perjalanan, aku lupa awalnya  membahas apa. Karena saat pembahasan itu akhirnya aku ingat masa lalu.  Oh, ya! Sekarang aku ingat, saat itu Bapak menyetel lagu kenangan, akhirnya dengan mengalir umi bercerita dan tentu saja melipir ke masa-masa di mana saat aku  belum bisa memperhatikan adikku dan mengayomi adikku, karena saat umi kuliah, kalau tidak salah, aku masih SD antara kelas 1 sampai 3 -maksudnya aku juga perlu diperhatikan-.

Aku tahu siapa umiku, dia sangat suka bercerita. Kalau sudah bercerita, tak jarang suka mempraktikkan kejadian yang diceritakan hingga membuat yang melihat suka senyum bahkan tertawa melihat tingkah umi. Yah, itulah umiku, sangat senang bercerita.

Umi menikah dengan bapak setelah lulus PGA, kalau sekarang SMA. Sedangkan bapak kala itu sudah S1 malah sudah kerja. Perbedaan umur pun amat mencolok. Bedanya 14 tahun!.

Umi pernah bilang, kalau dulu, dia ingin sekali meneruskan sekolah, umi ingin kuliah. Tapi umi dijodohkan dan dinikahkan dengan bapak.

Setelah menikah, umi di rumah tidak bekerja, karena bapak menyuruh umi untuk jangan bekerja, dan tentunya tidak kuliah juga.

Sampai umi pun punya anak 5, jaraknya tidak beda jauh, aku dan adikku bedanya 2 tahun, malah kurang.

Saat baru melahirkan anak ke lima, ada kesempatan buat umi untuk kuliah gratis di jakarta. Tepatnya UNJ. Dan bapak pun izinkan umi untuk kuliah lagi, setelah sekian lama hampir 10 tahun kata 'jangan' selalu bapak ucapkan pada umi. Tentu, umi bimbang, karena  saat itu, umi  punya bayi yang masih merah. Tapi, keinginan umi untuk kuliah tidak membuat umi menyerah.

Saat umi melahirkan, umi diwakilkan kakaknya umi untuk mendaftar ke sana. Pokoknya kalau diceritakan perjuangan umi,  air bening yang kusebut air mata kadang membasahi pipi.

Tentu, beasiswa yang diberikan saat itu mempunyai syarat. Dan salah satu syaratnya, peserta yang mendapat beasiswa wajib tinggal di asrama.

Asrama kedengarannya menarik, tapi bagaimana jika tinggal di asrama bersama bayi yang masih merah, baru lahir, dan tentunya tempat yang dihuni seorang anak yang masih baru lahir harus bisa dibilang layak. Tapi ini?. Asrama yang awalnya gedung kosong, peninggalan Belanda dan tentu saja banyak cerita-cerita yang menyeramkan datang dari sana.

Akhirnya umi dilema lagi, umi ingin kuliah, tapi tidak tega melihat adiikku yang masih merah di bawa aktifitas kuliah. Masih amat rapuh. Akhirnya, umi putuskan untuk menitipkan si bungsu di rumah nenek. Karena jika di rumah, tentu saja tidak ada yang bisa mengrus. Bapak harus mengurus aku, dua adikku dan kakaku juga yang masih sama-sama polos. Sedangkan aku? Mana mungkin bisa menjaga si bungsu di rumah. Belum lagi, tugas bapak sebagai kepala sekolah Aliyah banyak bin numpuk. Jadi, agar si bungsu aman, umi menitipkan si bungsu di rumah nenek.

Penitipan itu tidak berlangsung lama, karena umi engga tahan dan selalu ingat si bungsu, belum lagi naluri sebagai seorang ibu amat kuat. Bayangkan, bayi yang masih merah harus dipisahkan oleh ibunya hanya karena kuliah?.

Ah, umi. Andai aku sudah besar kala itu, Aku ingin membantu umi untuk merawat si bungsu. Tapi nyatanya, aku masa itu masih belum bisa menjaga si bungsu, karena aku sendiri pun masih perlu penjagaan bapak dan umi.

Bersambung.

No comments:

Post a Comment