Thursday, November 17, 2016

#Cerpen Dua Perjuanga(2)

Tak disangka, dibelahan bumi lain diapun sedang berjuang untuk meminta restu. Mungkin ini skenario yang Dia berikan padaku. Orangtuaku dan orangtua dia meragukan niat baik kami.  Pada saat itu cukup Dia sebagai pemberi keputusan terbaik.

_"Hanif ingin membantu perempuan yang dengan menikah, pahalanya lebih besar Yah"_ Suara hanif masih lembut _"Ayah mungkin lebih tahu daripada hanif, Ibu apalagi, Bu... banyak keutamaan wanita yang kebanyakan keutamaan itu ada setelah wanita itu menikah"_ lanjut hanif.

_"Ternyata... anak Ibu sudah dewasa juga yah hehehe, anakku, bukan ibumu melarang kamu menikah, namun lihat kamu sekarang, apa yang kamu punya?"_ tanya ibunya dengan nada khawatir.

_"Bu, hanif yakin wanita pilihan hanif tidak penuntut, karena hanif kenal betul dengan calon pilihan hanif ini..."_ jelas hanif dengan nada meyakinkan.

Suasananya cukup tegang, karena pada saat itu, tak secuil kalimatpun yang terlontar dari mulut ayahnya. Sejak awal perbincangan dimulai, hanya Ibunya dan dia yang selalu mendominasi.

Apa yang menyebabkan ayahnya terdiam?

_"Ibu kembalikan lagi pada ayahmu..."_ kata ibunya sambil berjalan ke dapur untuk mengambil teh untuk ayahnya.

Sebelum beberapa kalimat  akan  diucapkan kepada ayahnya, beberapa menit terakhir, tak henti-hentinya dia meminta pertolongan pada Allah agar dimudahkan dalam berucap.

Pintar sekali dia, dia meyakinkan kedua orangtuanya dengan mengatakan bawa dia amat kenal betul denganku, padahal kapan aku bertemu dengannya?

Ragaku dan dia memang belum bertemu, namun di langit sana,  keyakinanku dan keyakinannya saling menyapa dan mungkin saling bergandengan melawan keragu-raguan yang menerpa.

_"Bagaimana Yah?"_ tanya hanif penuh harap.

_"Gaji kamu berapa?"_ ayahnya balik bertanya

_"750ribu sebulan"_ Jawab hanif tegang.

_"Biaya kuliahmu?"_ tanya ayahnya lagi.

_"Sudahlah Yah, jangan hitung-hitungan seperti ini, urusan itu hal belakangan, yang terpenting ridho ayah dulu..."_ suara hanif pasrah.

Aku mengerti bagaimana perasaan ayahnya kala itu, kekhawatiran-kekhawatiran akan hal-hal yang belum pasti terjadi sudah melanda pikirannya.

_"Yah..., percaya sama hanif..."_ suara hanif sambil bergetar.

Bagaimana ayahnya mau percaya? Anaknya yang umurnya baru menginjak kepala dua dan kuliahpun masih semester tengah memutuskan untuk   menikah. Tentu Ayahnya khawatir bukan hanya kepada anaknya, namun beliaupun memikirkan bagimana kelak istri anaknya makan.

Lagi-lagi, soal ekonomi yang dipermasalahkan. Antara orangtuaku dan orangtua dia, mereka mempunyai pikiran yang sama.

Bukankah ini berat? Aku dan dia meyakinkan orangtua akan niat baik kami. Namun semuanya nampak terlihat, amat sulitnya ridho didapat.

Baiklah..., usahaku dan usaha dia rasanya teramat sangat, sekarang... aku dan dia tinggal  berharap, semoga Dia yang Maha Hebat memberikan keputusan yang maslahat.

No comments:

Post a Comment